Mahasiswa dan Ancaman Digital: Siapa Peduli?
Sebagian besar mahasiswa mungkin merasa bahwa isu keamanan siber adalah sesuatu yang hanya perlu dikhawatirkan oleh perusahaan besar atau lembaga pemerintahan. Mereka lupa bahwa dalam ekosistem digital saat ini, setiap orang—termasuk mahasiswa—adalah target potensial bagi peretas, pencuri identitas, atau bahkan sekadar platform digital yang rakus mengumpulkan data.
Setiap hari, kita membuka media sosial, mengakses layanan kampus, berbelanja online, atau mengklik tautan acak yang muncul di layar. Tanpa disadari, jejak digital kita tersebar ke berbagai platform—mulai dari informasi pribadi hingga kebiasaan browsing. Masalahnya, seberapa sering kita benar-benar berpikir tentang keamanan data kita sendiri?
Coba pikirkan. Berapa banyak aplikasi yang kita gunakan setiap hari? Berapa banyak situs yang meminta kita “login dengan Google” tanpa kita benar-benar membaca izin aksesnya? Dan berapa kali kita asal mencentang persetujuan privasi tanpa benar-benar tahu data apa saja yang kita serahkan? Jika kita menganggap keamanan siber hanya sebagai urusan teknis dan bukan bagian dari kehidupan kita sehari-hari, maka kita sedang menggali lubang untuk diri sendiri.
Data Pribadi: Mata Uang Baru yang Kita Bagikan Gratis
Di era digital, data pribadi bukan sekadar informasi tentang diri kita, tetapi sudah menjadi “mata uang” yang diperjualbelikan. Perusahaan teknologi, aplikasi media sosial, hingga pengiklan agresif semua berlomba-lomba mengumpulkan dan memonetisasi data pengguna.
Laporan dari DataReportal menunjukkan bahwa setiap orang di dunia digital rata-rata memiliki lebih dari 8 akun media sosial dan menghabiskan lebih dari 6 jam sehari di internet. Ini berarti ada miliaran titik data yang bisa dimanfaatkan—baik untuk kepentingan bisnis, manipulasi opini publik, hingga skenario yang lebih berbahaya seperti peretasan atau pencurian identitas.
Untuk mahasiswa, risiko ini lebih besar karena sering kali mereka kurang sadar tentang bagaimana data mereka digunakan. Menggunakan Wi-Fi gratis di kafe atau kampus tanpa berpikir dua kali, menyimpan kata sandi di browser, atau membagikan informasi pribadi secara sembarangan di media sosial bisa menjadi pintu masuk bagi pihak yang ingin mengeksploitasi mereka.
Kasus kebocoran data di Indonesia pun bukan hal baru. Beberapa tahun terakhir, berbagai insiden terjadi—dari bocornya data KTP hingga akun pengguna e-commerce yang dijual di forum gelap. Pertanyaannya adalah: jika data-data dari instansi besar saja bisa bocor, bagaimana dengan akun pribadi mahasiswa yang keamanannya sering kali lebih lemah?
Ancaman Keamanan Siber: Tidak Perlu Jadi Tokoh Penting untuk Jadi Korban
Banyak mahasiswa berpikir, “Saya bukan orang terkenal, kenapa harus takut jadi target serangan siber?” Ini adalah asumsi yang berbahaya. Dalam dunia digital, tidak perlu menjadi tokoh publik atau orang kaya untuk menjadi korban.
Serangan siber bisa terjadi pada siapa saja—mulai dari akun media sosial yang dibajak untuk menyebarkan spam, pencurian data rekening e-wallet, hingga kasus yang lebih ekstrim seperti doxxing (penyebaran informasi pribadi secara online) atau pemerasan berbasis data pribadi.
Salah satu teknik yang sering digunakan adalah phishing, di mana peretas mengelabui korban dengan email atau pesan palsu yang tampak meyakinkan. Sebagai mahasiswa, kita sering menerima email dari kampus, organisasi, atau bahkan lowongan magang. Jika tidak berhati-hati, kita bisa dengan mudah terkecoh dan memberikan kredensial login kita kepada pihak yang tidak bertanggung jawab.
Serangan lain yang sering terjadi adalah peretasan melalui aplikasi pihak ketiga. Berapa kali kita mengunduh aplikasi gratis tanpa mengecek keamanannya? Atau mengklik tautan yang terlihat menarik tetapi sebenarnya mengandung malware? Jika kita terus bersikap ceroboh, maka bukan hanya data kita yang berisiko, tetapi juga perangkat yang kita gunakan.
Lindungi Data Pribadi: Tidak Sulit, Hanya Perlu Peduli
Keamanan siber bukan soal menjadi ahli IT, tetapi soal kebiasaan. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa diterapkan mahasiswa untuk melindungi data pribadinya:
1. Gunakan Kata Sandi yang Kuat dan Unik
Jangan gunakan kata sandi yang sama untuk semua akun. Jika satu akun diretas, maka akun lain juga berisiko. Gunakan kombinasi huruf, angka, dan simbol yang sulit ditebak, serta pertimbangkan menggunakan *password manager* untuk mengelola kata sandi dengan lebih aman.
2. Aktifkan Autentikasi Dua Faktor (2FA)
Ini adalah lapisan perlindungan tambahan yang bisa mencegah akses tidak sah ke akun kita, bahkan jika kata sandi bocor. Banyak platform seperti Google, Instagram, dan layanan perbankan online sudah menyediakan opsi ini.
3. Berhati-hati dengan Tautan dan Lampiran Email
Jangan sembarangan mengklik tautan atau mengunduh lampiran dari email yang mencurigakan. Jika mendapat email dari bank, kampus, atau penyedia layanan lain, selalu cek kembali alamat pengirimnya dan pastikan tidak ada kejanggalan.
4. Gunakan VPN Saat Mengakses Wi-Fi Publik
Wi-Fi gratis di kafe atau kampus memang menggoda, tetapi juga bisa menjadi celah bagi peretas untuk mencuri data. Menggunakan VPN bisa membantu mengenkripsi koneksi kita agar lebih aman.
5. Kurangi Berbagi Informasi Pribadi di Media Sosial
Tidak semua hal perlu dibagikan secara online. Lokasi, nomor telepon, atau detail kehidupan pribadi bisa menjadi informasi yang berguna bagi pihak yang ingin mengeksploitasi kita.
6. Perbarui Perangkat Lunak Secara Berkala
Banyak serangan siber terjadi karena perangkat lunak yang sudah usang dan memiliki celah keamanan. Pastikan sistem operasi, aplikasi, dan perangkat lunak antivirus selalu diperbarui.
7. Waspada terhadap Aplikasi Gratis
Jika sebuah aplikasi gratis tetapi meminta terlalu banyak izin akses, maka kita harus bertanya-tanya: apa yang sebenarnya mereka ambil dari kita? Jika ragu, lebih baik hindari.
Keamanan Siber Adalah Tanggung Jawab Bersama
Sebagai mahasiswa, kita hidup di era digital di mana data pribadi adalah aset yang sangat berharga. Keamanan siber bukan hanya soal menghindari serangan peretas, tetapi juga soal bagaimana kita menjaga privasi dan memastikan bahwa data kita tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan.
Sering kali kita mengabaikan keamanan siber karena menganggapnya rumit atau tidak penting. Namun, setiap kasus kebocoran data, setiap akun yang diretas, dan setiap informasi pribadi yang disalahgunakan adalah bukti bahwa kita tidak bisa lagi bersikap pasif.
Jika kita tidak peduli dengan keamanan data kita sendiri, maka jangan kaget jika suatu hari kita menjadi korban berikutnya. Dunia digital tidak akan menjadi tempat yang lebih aman jika penggunanya sendiri terus bersikap ceroboh. Maka, mulai sekarang, mari berhenti menganggap keamanan siber sebagai isu teknis semata—karena pada akhirnya, ini adalah tentang bagaimana kita melindungi diri kita sendiri di dunia yang semakin terhubung.
Catatan:
Penulis: Alia Dewi
Photo by Pixabay from Pexels: https://www.pexels.com/photo/security-logo-60504/