Skip to content
Home » Artikel » Revenge Porn dan Keamanan Digital

Revenge Porn dan Keamanan Digital

  • by

Kesetaraan gender dalam dunia digital menjadi isu yang semakin mendesak di era teknologi informasi ini. Seiring dengan pesatnya perkembangan media sosial dan aplikasi komunikasi, muncul pula tantangan besar terkait bagaimana gender dipandang dan diperlakukan di dunia maya. Di satu sisi, internet membuka peluang untuk mengekspresikan diri dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Akan tetapi, teknologi juga memperburuk ketidaksetaraan gender, terutama dengan munculnya fenomena revenge porn. Fenomena ini memanfaatkan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan personal dan menjadi ancaman serius bagi privasi dan kesehatan mental individu, khususnya perempuan.

Revenge Porn

Revenge porn adalah penyebaran gambar atau video pribadi yang bersifat intim atau erotis tanpa persetujuan dari pihak yang ada dalam konten tersebut. Hal tersebut dikarenakan mantan pasangan yang merasa dihianati atau marah, dengan tujuan untuk melukai korban secara psikologis. biasanya sebagai bentuk pembalasan dendam atau untuk merusak reputasi korban. Meskipun sering kali melibatkan hubungan romantis, terkadang konten ini juga dipublikasikan oleh orang-orang yang sebelumnya dipercaya. Di dunia yang semakin terhubung secara digital ini, media sosial dan aplikasi pesan instan menjadi sarana utama bagi pelaku kejahatan. Mereka bisa dengan mudah untuk menyebarkan konten revenge porn. Platform seperti Instagram, WhatsApp, dan Twitter memudahkan penyebaran konten intim secara anonim, yang meningkatkan kerentanannya bagi korban. Diperlukan tindakan tegas dan perlindungan yang memadai untuk korban.

Kasus revenge porn yang terjadi di tahun 2017, di mana seorang wanita asal Inggris melaporkan mantan pacarnya yang menyebarkan foto pribadi mereka setelah hubungan mereka berakhir. Hal tersebut menggambarkan betapa besar dampak dari penyebaran konten pribadi. Wanita ini tidak hanya mengalami kerugian emosional, tetapi juga kesulitan dalam mencari pekerjaan, bahkan mengisolasi dirinya dari teman-teman karena takut akan stigma sosial yang ditimbulkan oleh foto-foto tersebut. Kasus ini menyoroti bagaimana privasi seorang individu bisa dirusak tanpa izin mereka, dengan dampak yang jauh melampaui sekadar kehilangan gambar atau video pribadi.

Di Indonesia, fenomena revenge porn juga semakin mengkhawatirkan. Seorang wanita menjadi korban penyebaran video pribadi oleh mantan pacarnya pada tahun 2020. Video tersebut tersebar luas melalui media sosial dan aplikasi pesan instan, memicu perundungan online terhadap korban. Kejadian ini memaksa korban untuk berhadapan dengan ancaman. Korban bahkan menghindari kontak dengan orang lain karena takut video tersebut akan kembali disebarkan atau dilihat oleh lebih banyak orang.

Kaitannya dengan Kesetaraan Gender

Fenomena revenge porn sering kali melibatkan perempuan sebagai korban utama. Studi menunjukkan bahwa mayoritas korban adalah perempuan dan pelaku biasanya adalah pria yang jadi mantan pasangan. Pelaku ingin membalas dendam atau merasa memiliki kendali atas perempuan yang sebelumnya menjadi pasangan mereka. Ini memperlihatkan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan yang lebih besar, di mana perempuan seringkali diposisikan lebih rentan terhadap pelecehan digital. Revenge porn bukan hanya melukai korban secara pribadi, tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan gender. Ketika perempuan menjadi korban, mereka tidak hanya menderita akibat hilangnya privasi, tetapi juga sering kali harus menghadapi stigma sosial yang lebih besar. Sementara itu, pelaku yang sebagian besar adalah pria, dapat lolos dari konsekuensi. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana hubungan yang seharusnya didasarkan pada rasa hormat bisa disalahgunakan untuk merendahkan dan mengontrol.

Bagaimana Mengatasi Ancaman Revenge Porn di Era Digital?

Mengatasi ancaman revenge porn di dunia digital memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif antara hukum, teknologi, dan edukasi publik. Perlindungan hukum bagi korban harus diperkuat dengan kebijakan yang lebih tegas, dan platform digital harus bertanggung jawab untuk menghapus konten yang merugikan korban segera setelah dilaporkan. Di Indonesia, Undang-Undang ITE sudah mengatur larangan penyebaran konten pribadi tanpa izin, tetapi penerapan hukum masih menemui berbagai hambatan. Hambatan yang dimaksud berfokus pada kasus yang melibatkan media sosial atau aplikasi pesan instan yang sulit dilacak.

Penting juga bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya privasi digital dan konsekuensi dari berbagi konten pribadi. Edukasi mengenai keamanan digital harus dimulai sejak dini, khususnya di kalangan remaja dan mahasiswa, yang lebih sering menggunakan teknologi untuk berbagi informasi dan berinteraksi secara daring. Masyarakat perlu pemahaman tentang cara melindungi data pribadi, menggunakan pengaturan privasi dengan bijak, serta menyadari risiko berbagi konten pribadi.